Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Presidential Thresold (PT) 20 persen menjadi 0 persen, sehingga PT tetap 20 persen.
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK)
Dalam putusan MK itu diambil setelah suara mayoritas hakim Mahkamah Konstitusi (MK) setuju ambang batas presidential threshold (PT) tetap 20 persen, sehingga PT untuk Pilpres 2024 masih berlaku.
Meski, ada hakim kostitusi, yakni Saldi Isra dan Suhartoyo, menilai sudah saatnya menghapus presidential threshold 20 persen.
"Sulit diterima penalaran yang wajar apabila Mahkamah justru membiarkan adanya kebijakan pembelokan norma konstitusi dengan dalil open legal policy pembentuk undang-undang," kata Suhartoyo dalam sidang terbuka yang disiarkan channel YouTube MK, Kamis (24/2/2022).
Menurut Saldi Isra dan Suhartoyo, dengan pemilu serentak, rezim ambang batas menggunakan hasil pemilu anggota DPR menjadi kehilangan relevansinya dan mempertahankannya berarti bertahan memelihara sesuatu yang inkonstitusional.
Apabila, sambungnya, diletakkan dalam desain sistem pemerintahan, mempergunakan hasil pemilu anggota legislatif sebagai persyaratan dalam mengisi posisi eksekutif tertinggi (chief executive atau Presiden) jelas merusak logika sistem pemerintahan presidensial.
"Dalam sistem presidensial, melalui pemilu langsung, mandat rakyat diberikan secara terpisah masing-masing kepada pemegang kekuasaan legislatif dan kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Karena sama-sama berasal dari pemilihan langsung, mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan legislatif belum tentu sama, bahkan sejumlah fakta empirik membuktikan acapkali berbeda, dengan mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan eksekutif," tutur Suhartoyo dan Saldi Isra
Menggunakan hasil pemilu legislatif guna mengisi posisi pemegang kekuasaan eksekutif merupakan logika dalam pengisian posisi pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dalam sistem parlementer.
Artinya, dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan ambang batas (presidential threshold) dalam proses pengisian jabatan eksekutif tertinggi jelas memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial.
"Padahal salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan (purifikasi) sistem pemerintahan presidensial Indonesia," ujar Suhartoyo dan Saldi Isra.
Pertanyaan elementer yang niscaya diajukan, kata Suhartoyo-Saldi Isra, mengapa ambang batas pengajuan calon Presiden (dan Wakil Presiden) dipertahankan ketika keberadaannya menyimpang dari logika sistem presidensial.
Bahkan, studi komparasi menujukkan, misalnya Amerika Serikat, negara yang selalu menjadi rujukan utama praktik sistem pemerintahan presidensial sama sekali tidak mengenal aturan ambang batas dalam pengusulan calon presiden (dan wakil presiden).
Logika lain yang selalu dikembangkan, ambang batas pengajuan calon presiden (dan wakil presiden) diperlukan untuk menjaga stabilitas pemerintah dalam membangun hubungan dengan lembaga legislatif," kata Suhartoyo dan Saldi Isra.