Panitia Khusus (Pansus) PCR DPD RI sudah mulai bekerja melakukan identifikasi dan klarifikasi terkait adanya dugaan penyimpangan kebijakan PCR yang membebani publik.
Anggota DPD RI Fahira Idris. (Foto: Susilo)
Menurutnya, dalam kurun waktu setahun terakhir, setiap kali anggota DPD RI bertemu dengan masyarakat dalam kegiatan reses dan serap aspirasi, pertanyaan mengenai PCR selalu muncul. Terutama terkait tarif PCR yang sering berubah-ubah dan tidak sama antara Jawa-Bali dan daerah lain.
“Selain itu, pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa hanya moda transportasi udara yang mensyaratkan PCR dan pertanyaan menyangkut transparansi dan akuntabilitas serta isu konflik kepentingan dalam bisnis PCR. Secara normatif, pertanyaan-pertanyaan publik ini bisa kami jawab,” ujarnya.
Misalnya soal tarif PCR yang memang sudah ada aturan dan landasan hukum dari pemerintah. Akan tetapi, jawaban normatif seperti ini tidak memuaskan publik. Oleh karena itu, untuk bisa menjawab secara substantif dan komprehensif, harus mengumpulkan data, informasi dan melakukan identifikasi serta klarifikasi kepada pihak-pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung terhadap persoalan tersebut.
“Pansus ini menjadi forum bagi DPD RI dan juga tentunya bagi publik untuk melakukan identifikasi serta klarifikasi. Berbagai pertanyaan publik terkait PCR perlu dijawab secara jernih, sesuai dengan fakta dan data,” tandasnya.
Selain itu, DPD RI mempunyai kewajiban mengambil peran tersebut. Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPD RI harus memastikan semua kebijakan negara akuntabel dan berdimensi keadilan bagi seluruh rakyat.
“Kami ingin mendapatkan informasi yang akurat dan masukan yang positif serta konstruktif terkait tes PCR. RDPU merupakan salah satu tahapan konstitusional untuk mendapatkan semua bahan yang dibutuhkan, guna memberikan masukan kepada pemerintah,” tegasnya.