Adanya ketidakseimbangan dan kesenjangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja yang semakin tajam, menjadikan pekerja rentan dengan tindakan eksploitasi.
Ketua Komite III DPD RI Sylviana Murni (tengah) saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Penyusunan RUU Inisiatif tentang Perubahan UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja di Gedung DPD RI, Senin (24/1). (Foto: dpd.go.id)
“Namun faktanya di lapangan justru berbanding terbalik. Dimana pekerja dan pengusaha adanya ada batasan karena hubungan kekuasaan,” kata Ketua Komite III DPD RI Sylviana Murni di Gedung DPD RI, Senin (24/1).
Hal itu disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Penyusunan RUU Inisiatif tentang Perubahan UU No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja. Menurutnya, kondisi tak ideal itu semakin diperkuat oleh faktor eksternal seperti kondisi politik, ekonomi dan sosial.
“Artinya, hubungan industrial sebenarnya rawan akan konflik. Sulit bagi pekerja untuk berhadapan dengan pengusaha secara individual. Oleh karena itu, keberadaan organisasi menjadi sebuah kebutuhan,” ujarnya.
Dikatakan, derita pekerja seolah tidak cukup sampai di situ. Dimana UU Cipta Kerja juga menjadi catatan kelam bagi perlindungan hak-hak pekerja, meskipun putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Judicial Review UU Cipta Kerja telah menyatakan inkonstitusional bersyarat.
“Kenyataannya hanya menunda pengundangan selama dua tahun belaka, tidak membatalkannya,” tandas anggota DPD asal DKI Jakarta itu. Sementara anggota DPD RI asal Provinsi Bali Anak Agung Gde Agung menjelaskan, berdasarkan ratifikasi organisasi buruh internasional atau International Labour Organization (ILO), UU Serikat Buruh amat sangat liberal atau tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Tidak Sesuai
UU tersebut seakan tidak memihak kepada serikat buruh dan tidak sesuai dengan ratifikasi ILO. Sementara aktivis buruh Rekson Silaban menilai Indonesia salah satu negara yang memiliki aturan paling liberal dalam mendirikan serikat buruh.
“Lantaran persyaratan mendirikannya sangat minim seperti hanya AD/ART, ada pengurus, alamat kantor dan hanya mendaftar di kantor Disnaker setempat. Tidak ada persyaratan pendaftaran, berapa jumlah anggota, sebarannya di daerah,” tegasnya.
Selain itu, pemerintah juga tidak melakukan pendataan ulang atas eksistensi serikat buruh yang pernah mendaftar. Padahal banyak serikat buruh yang tidak jelas lagi eksistensinya.
Adapun Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan, kaum pekerja menjadi kelompok rentan dari kecamuk pandemik Covid-19. Tidak sampai di situ, angka pengangguran juga semakin meningkat seiring dengan krisis pandemik yang belum berakhir.
“Pekerja sektor informal juga semakin rentan, karena tidak tercakup dalam skema jaminan sosial ketenagakerjaan,” ungkapnya.