Maraknya kasus investasi bodong dengan berbagai skema yang mengorbankan masyarakat, menunjukkan tingkat literasi keuangan yang masih sangat minim.
Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin. (Foto: dpd.go.id)
“Khususnya ditengah masa pemulihan ekonomi nasional. Hanya saja, pada saat yang sama, tidak sedikit masyarakat yang menjadi korban ketidaktahuan dan ketidakpahaman terkait skema bisnis industri keuangan. Dimana kian hari kian menjamur,” katanya, Jumat (21/1).
Menurutnya, dari data OJK menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan Indonesia 2019 sebesar 38,03 persen dan indeks inklusi keuangan sebesar 76,19 persen. Hal ini menunjukkan masyarakat Indonesia secara umum belum memahami dengan baik karakteristik berbagai produk dan layanan jasa keuangan.
“Khususnya yang ditawarkan oleh lembaga jasa keuangan formal dan informal, terutama industri keuangan digital. Hal itu karena masyarakat cenderung abai dan bahkan tidak mempertimbangkan resiko investasi yang menawarkan keuntungan maksimal,” ujarnya.
Sementara, penawaran dan trend investasi semakin menjamur dengan berbagai skema bisnisnya. Situasi ini tentu menjadi peluang sekaligus tantangan yang harus diperhatikan oleh pemerintah.
“Yakni dengan meningkatkan kualitas literasi keuangan masyarakat. Sehingga tantangan yang ada, bisa dikonversi menjadi sebuah nilai ekonomi yang berkelanjutan. Kami mengapresiasi target pemerintah dan OJK, yang ingin mencapai target inklusi keuangan 90 persen pada 2024,” tandasnya.
Tapi, pengetahuan dan partisipasi masyarakat pada sektor keuangan, harus menjadi perhatian serius. Dan mestinya diutamakan, sehingga dapat terwujud masyarakat Indonesia yang well literate dan financially inclusive.
“Yaitu masyarakat yang memanfaatkan produk dan layanan keuangan, sesuai kebutuhan dan kemampuannya. Selain itu, saya meminta masyarakat, khususnya milenial Indonesia yang gemar melakukan investasi di pasar saham, untuk berhati-hati dan sedapat mungkin memiliki pengetahuan yang utuh tentang jenis investasi yang diminati,” tegasnya.