Pengamat: Jenis Kelamin MPR RI Tak Jelas

Pengamat hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, 'jenis kelamin' MPR RI saat ini tidak jelas.

Pengamat: Jenis Kelamin MPR RI Tak Jelas

Pengamat hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari. (Tangkapan layar: Aqsha)

Wowsiap.com - Pengamat hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, 'jenis kelamin' MPR RI saat ini tidak jelas. Berdasarkan tafsir ketatanegaraan dengan pendekatan original teks pembentuk UUD ketika membuat konstitusi saat ini, MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. 

“Jadi, MPR adalah tempat berkumpulnya anggota DPR dan DPD untuk berkumpulnya dua lembaga legislatif dalam sistem presidensial yaitu lembaga DPR dan DPD. Mereka bertemu, dengan demikian sebenarnya lembaga MPR itu bukanlah lembaga tetap dan baru akan timbul ketika anggota DPR dan DPD,” tuturnya dalam diskusi Gelora Talk bertema Menyoal Eksistensi Lembaga MPR: Masih Relevankah Dipertahankan?

Namun dalam pelaksanaannya, dia melihat ada ketidaksinkronan dalam sistem ketatanegaraan saat ini. Dimana MPR lebih banyak politisnya dalam implementasinya. Hal itu akibat tidak banyak orang yang bisa menjelaskan struktur bangunan kelembagaan MPR dan kedudukannya dalam sistem ketanegaraan saat ini.

“Ada ketidaksinkronan sistem ketatanegaraan, bentuknya seperti apa dan jenis kelaminnya tidak jelas, serta diberikan kewenangan yang memperburuk ketatanegaraan,” ucapnya.

Sebaliknya, pengamat politik dari Universitas Indonesia Chusnul Mariyah mengatakan, berdasarkan konsep kelembagaan dalam perspektif sejarah, MPR adalah penjelmaan rakyat. Sehingga penanamaannya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, tidak seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Artinya, kedudukan MPR sebagai penjelmaan rakyat harus dipertahankan. Sebab, mempertahankan MPR bagian dari mempertahankan NKRI,” jelasnya. Chusnul justru menilai, yang seharusnya dibubarkan itu bukan MPR, melainkan DPD.

Karena dalam perpektif sejarahnya tidak ada, harusnya ada Utusan Golongan. Sebab yang membangun NKRI kerajaan-kerajaan dan kesultanan Islam, dan itu ada perjanjiannya.

“Saya berharap, kedudukan MPR dikembalikan seperti dilakukan sebelum perubahan UUD 1945, karena memiliki paradigma musyawarah,” imbuhnya. Terlebih, MPR adalah the guardian of constitution yang mempertahankan eksistensi negara.

“Kalau sekarang ada keinginan dari ingin kembali UUD 1945, kenapa tidak melakukan apa yang dilakukan Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 1959 untuk kembali ke UUD 1945? Yakni mengembalikan lembaga penjelmaan rakyat,” tukasnya.
 

MPR lembaga penjelmaan rakyat UUD 1945