Sebagai negara yang berdaulat yang menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai kemanusiaan universal, negara melalui para penegak hukum berhak menuntut hukuman yang setimpal bagi para pelaku kejahatan luar biasa.
Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin. (Foto: dpd.go.id)
“Jika kita sepakat bahwa apa yang dilakukan oleh terdakwa sangat tidak manusiawi, maka adalah adil dan wajar bagi hukum untuk mencabut hak hidupnya secara paksa,” kata Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin, Kamis (13/1).
Hal itu sekaligus mengkritisi kekhawatiran Komisi Nasional Hak Azazi Manusia (Komnas HAM) terkait tuntutan hukuman mati kepada predator seksual Herry Wirawan. Komnas HAM mengingatkan, lembaga penegak hukum agar hati-hati dalam menerapkan kebijakan hukuman mati.
“Bisa saja disorot PBB atau dunia internasional, karena Indonesia masuk ke dalam negara yang masih menerapkan hukuman mati,” ujar anggota Komnas HAM Beka Ulung Hapsara.
Dikatakan oleh Sultan, LSM dan praktisi HAM internasional tidak pernah bertanggungjawab atas dampak kejahatan kemanusiaan yang ditimbulkan pelaku bagi korban. “Artinya, mereka sedikitpun tidak berhak mengintervensi keputusan hukum Indonesia, kecuali kita mengizinkannya,” tandasnya.
Dia menambahkan, filosofi dan kedudukan Indonesia adalah negara hukum berdaulat yang berperikemanusiaan. Selain itu, setiap bangsa memiliki standar moral yang berbeda.
“Demikian juga standar nilai kemanusiaan. Bangsa Indonesia tidak hanya menghormati hak hidup seseorang, tapi juga hak untuk diperlakukan secara manusiawi oleh individu lainnya. Hukuman mati harus menjadi wujud kedaulatan dan solusi hukum Indonesia pada semua jenis kejahatan berat yang berdampak luass, termasuk bagi kejahatan keuangan dengan nilai triliunan rupiah,” tegasnya.
Dia menambahkan, pihaknya selalu mendukung setiap keputusan hukum lembaga penegakan hukum Indonesia. “Sehingga tidak boleh ada pihak manapun yang berpikiran untuk mendikte ketetapan hukum Indonesia,” tegasnya.