Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menegaskan, pengambilan keputusan di DPR/DPRD seharusnya dilakukan dengan one person one vote.
Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti. (Foto: Susilo)
“Sehingga, pertanggungjawaban kepada konstituen di daerah pemilihan masing-masingnya jelas. Dengan demikian maka konstituen juga bisa memutuskan, apakan akan memilih orang itu lagi atau tidak,” katanya, Rabu (21/1).
Hal itu disampaikannya dalam diskusi Gelora Talk bertema Reformasi Sistem Politik, Mengapa Fraksi DPR Sebaiknya Dihapus. Menurutnya, pemilih juga bisa memilih orang lain – bahkan parpol lain - bila tidak lagi menginginkan anggota dewan tersebut terpilih kembali.
“Dengan keberadaan fraksi, kita tidak pernah tahu rekam jejak anggota DPR. UU apa saja yang sudah dibahas, kebijakan apa saja dan anggaran apa saja yang disetujui. Sebab, semua itu tidak ada rekam jejaknya,” ujar dia.
Dia menambahkan, keberadaan fraksi di DPR maupun DPRD, perlu dilihat dalam dua aspek. Dimana aspek pertama adalah dalam fungsi koordinasi dan yang kedua adalah pengambil keputusan.
“Fraksi sebagai pengambil keputusan inilah yang seharusnya dibongkar dan dihapuskan. Selain itu, semua fasilitas dari DPR/DPRD diberikan melalui fraksi dan pengelompokan keseluruhan secara formal dilakukan partai politik melalui fraksi,” tandasnya.
Bila tidak diubah, maka sebenarnya tidak ada sistem politik yang dibangun dengan akuntabilitas lebih baik. Selain itu, budaya politik juga tidak terbangun karena anggota hanya menunggu apa yang diungkapkan oleh pimpinannya dahulu.
“Seharusnya, setiap anggota dewan bersuara dan mengemukakan pendapatnya dengan bebas. Termasuk ketika dia setuju atau tidak setuju terhadap keputusan yang diambil oleh DPR,” tegasnya.