Anggota DPR yang terpilih seharusnya menjadi wakil rakyat dan bukan lagi wakil dari partai politik. Sehingga, akan repot bila kemudian anggota DPR terpilih namun terus dianggap sebagai petugas partai.
Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah. (Tangkapan layar: Susilo)
“Karena hal semacam itu berpotensi mendistorsi kehendak rakyat menjadi kehendak parpol. Hal itu harus dilawan, karena bila sudah memilih sistem demokrasi, maka mau tidak mau kita harus memurnikan sistem demokrasi,” katanya, Rabu (12/1).
Hal itu disampaikannya dalam diskusi Gelora Talk bertema Reformasi Sistem Politik, Mengapa Fraksi DPR Sebaiknya Dihapus. Menurutnya,seseorang yang sudah dipilih oleh rakyat, menjadi milik rakyat.
“Sehingga tidak boleh menjadi milik parpol. Sebaliknya, orang yang berada di parpol juga seharusnya bisa menyadari akan hal itu. Parpol memang harus dibangun agar sehat dan modern, namun bukan berarti kemudian parpol mengontrol orang untuk menguasai negara,” ujarnya.
Sebab bila hal itu dilakukan, maka demokrasi akan berubah menjadi totaliter. Dia melihat, kontrol partai yang terlalu kuat sebenarnya sangat bertentangan kehendak masyarakat. Sebab, wakil rakyat bertanggungjawab pada konstituennya.
“Namun tiba-tiba parpol ingin mendiktekan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan kepada publik. Dalam UU MPR, DPR, DPD dan DPRD, entitas bernama fraksi sebenarnya tidak ada. Sehingga, diperlukan metode pengelompokan baru yang lebih mencerminkan gagasan daripada komando partai,” tandasnya.
Adapun Ketua DPR Periode 2009-2014 Marzuki Alie menyatakan, sistem kepartaian perlu direformasi. Sebab, partai politik di Indonesia sudah bergerak menuju ke arah otoritarian.
“Dimana parpol hanya dikuasai oleh beberapa orang saja. Dimana ketua umum kadang juga merupakan pemilik parpol. Jika sistem kepartaian berhasil direformasi, maka akan dapat menuntaskan persoalan yang selama ini terjadi,” tegasnya.