Ekonom senior Rizal Ramli menegaskan sekuat apapun pemerintahan akan tumbang bila kebutuhan dasar rakyat bermasalah.
Ekonom senior Rizal Ramli. (Foto: Sakti)
“Kurang kuat apa Bung Karno? Namun ketika berasa susah dan rakyat terpaksa makan bulgur dan inflasi naik hingga 1000 persen, namun akhirnya jatuh juga,” katanya dalam diskusi Gelora Talk bertema Refleksi Akhir Tahun: Selamat Datang Tahun Politik, Bagaimana Nasib Indonesia di Masa Depan, Rabu (29/12).
Demikian pula dengan Pak Harto, yang hingga April 1998 masih sangat kuat. Apalagi, sebulan sebelumnya baru saja terpilih sebaga presiden. Sehingga, tidak ada elit politik yang memperkirakan Soeharto akan jatuh.
“Ada krisis ekonomi dan tidak ada pilihan untuk mencari uang selain menaikkan harga BBM sebesar 75 persen pada 1 Mei 1998. Keputusan itu diambil berdasarkan saran IMF,” ujarnya.
Kenaikan harga BBM itu lalu disusul dengan demonstrasi rusuh yang terjadi di Makassar keesokan harinya. Seminggu kemudian, Medan, Solo, Jakarta juga ikut rusuh. Pada saat yang hampir bersamaan, beras juga menghilang dari pasar. Demonstrasi dan kerusuhan dimana-mana akhirnya Soeharto jatuh.
“Seharusnya pemerintah waspada bila rakyat mulai mengalami kesulitan. Dimana banyak yang kehilangan pekerjaan, likuiditas disedot, harga listrik, BBM dan gas hingga pupuk naik,” tandasnya.
Hal itu semua tentu merupakan masalah bagi rakyat yang tingkat kesabarannya sangat tinggi. Tapi bila titik kesabarannya sudah dilewati, lanjutnya, maka akan berubah menjadi amok.
“Bila titik kesabarannya sudah lewat, maka bangsa Indonesia akan siap melakukan apapun. Jangan sampai bangsa ini masuk ke titik itu, karena bisa terjadi kerusuhan dan sebagainya. Makanya, saya lebih setuju bila yang tidak mempu menyelesaikan masalah, sebaiknya mundur secara baik-baik saja,” tukasnya.
