Nelayan Masih Hadapi Berbagai Ragam Ancaman

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat, hingga hari ini banyak nelayan dan perempuan nelayan menghadapi ragam ancaman.

Nelayan Masih Hadapi Berbagai Ragam Ancaman

Potret nelayan kecil. (Foto. pixabay.com)

Wowsiap.com - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat, hingga hari ini banyak nelayan dan perempuan nelayan menghadapi ragam ancaman. Hal tersebut akibat dari berbagai regulasi yang tengah dan telah disusun oleh pemerintah pusat, yang tidak berpihak terhadap nelayan tradisional-kecil.

“Khususnya Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP) maupun Keputusan dan Peraturan Menteri. Salah satu sumber masalah regulasi yang dimaksud adalah UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, atau yang lebih dikenal dengan omnibus law atau UU CK,” kata Sekjen KIARA Susan Herawati dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/12).

Menurutnya, narasi nelayan di dalam UU CK menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak lagi mengakui identitas politik dari nelayan tradisional. Namun menempatkan statusnya sama dengan pelaku usaha perikanan dalam skala yang lebih besar.

“UU CK merevisi ketentuan mendasar yang melekat pada nelayan kecil. Sehingga tidak ada ketentuan yang jelas antara nelayan kecil dengan nelayan besar. Kriteria yang jelas terhadap nelayan kecil sangat penting, karena terkait perlakuan khusus untuk mereka, seperti berhak mendapat subsidi, modal dan sebagainya dari pemerintah,” ujarnya.

Selain itu, nelayan kecil juga tidak diwajibkan memiliki izin karena menggunakan alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik baru karena nelayan besar juga dapat menikmati perlakuan khusus, yang selama ini hanya diberikan terhadap nelayan kecil.

Susan menambahkan, UU CK memiliki berbagai regulasi turunannya. Salah satunya adalah PP No. 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

“PP ini akan memungut tarif PNBP pra-produksi (sebelum berlayar/melaut) sebesar 5% kepada para pelaku perikanan yang ukuran kapalnya mulai dari 5 gross ton (GT). PP ini juga mengakomodir kepentingan untuk melakukan eksploitasi dan perampasan ruang secara terstruktur melalui tarif atas jenis PNBP yang berasal dari reklamasi dan tambang pasir,” ucapnya.

Padahal seharusnya, kata dia, negara menargetkan pungutan PNBP perikanan ini kepada para pelaku perikanan skala besar yang menggunakan kapal di atas 10 GT. Nelayan tradisional dan nelayan kecil yang menggunakan kapal di bawah 10 GT sudah seharusnya dibebaskan dari pungutan PNBP.

“Terkait dengan reklamasi dan tambang pasir yang hari ini seolah-olah dilegalkan melalui PNBP menambah penderitaan nelayan yang terjadi di pesisir dan pulau-pulau kecil. Salah satu contohnya adalah perampasan wilayah tradisional nelayan dan kriminalisasi yang terjadi akibat pertambangan pasir di perairan Spermonde untuk menyuplai kebutuhan reklamasi,” tegasnya.
 

Nelayan Tradisional UU Cipta Kerja Izin Susan Herawati