Faktor yang paling menentukan dalam perubahan politik adalah kesepakatan antara kekuatan-kekuatan politik utama.
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada Abdul Gaffar Karim dalam Dialog Kebangsaan bertema Presidential Threshold di Lobi Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta, Rabu (8/12).
“Bila kekuatan politik utama menyepakati sesuatu, maka terjadilah. Sehingga, daya tekan civil society harus nyambung dengan kekuatan politik utama untuk melakukan perubahan,” katanya dalam Dialog Kebangsaan bertema Presidential Threshold di Lobi Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta, Rabu (8/12).
Hal itu sekaligus menjawab mengapa presidential threshold (PT) tidak bisa hilang, disebabkan karena kekuatan-kekuatan politik utama belum menginginkan perubahan. Dimana kekuatan politik yang paling menentukan adalah kepentingan.
“Kalau kepentingan politik utama bertemu dengan PT, maka tidak perlu disentil pun maka akan dengan mudah berubah. Masalahnya, kekuatan besar masih membutuhkan adanya PT. Saya menduga, kekuatan politik utama masih menginginkan adanya PT selama beberapa tahun ke depan,” ujarnya.
Karena mereka menganggap, PT penting dan siapapun yang akan menjadi presiden tidak akan punya nyali untuk mengubah hal itu. Sehingga, dirinya juga tidak yakin ada yang berani sekalipun peluang adanya calon presiden independent telah dibuka.
“Sebab bila terpilih, maka presiden dari calon independen akan dikepung oleh parpol. Sehingga, siapapun yang memiliki kans untuk menjadi capres, merupakan bagian dari kepentingan besar untuk mengamankan parlemen,” tandasnya.
Dia melihat, system di Indonesia agak menyimpang karena sistemnya presidensial, namun anggota kabinetnya menggambarkan komposisi di parlemen. “Kalau mau mengubah itu semua, dorong kekuatan politik utama dan paksa mereka untuk berubah,” tegasnya.
Dia menambahkan, ada beberapa negara yang berhasil menerapkan sistem presidensial dengan multi partai. Antara lain seperti beberapa negara di Amerika Latin juga termasuk Indonesia.
“Pada buku The Surprising Success of Multiparty Presidentialism, Carlos Pereira menjelaskan bahwa agar berhasil di sistem presidensial multipartai, seorang bahwa presiden harus sebagai jabatan kuat secara konstitusional. Selain itu, dia juga harus punya kekuatan untuk barter atau negosiasi atau dipertukarkan dengan parlemen serta check and balances yang kuat,” ujarnya.