Seringnya bentrokan antara prajurit TNI dengan personel Polri di Indonesia karena keduanya memang alat negara yang dicetak untuk ‘memukul’ dan bertempur.
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi (kanan) dalam diskusi Empat Pilar MPR RI bertema TNI Rekrut Santri untuk Memperkokoh NKRI di Media Center MPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (8/12). (Foto: Susilo)
“Apalagi mereka memang bertugas untuk mengamankan dan mempertahankan negara. Sehingga, naluri mereka untuk bertarung memang tidak bisa dihilangkan,” katanya di Media Center MPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (8/12).
Hal itu disampaikannya dalam diskusi Empat Pilar MPR RI bertema TNI Rekrut Santri untuk Memperkokoh NKRI. Menurutnya, jiwa korsa mereka terus dipompa setiap hari, terbawa dalam kehidupan keseharian dan dapat menimbulkan ekses seperti yang terlihat belakangan ini.
Penyebab lainnya adalah karena dua institusi tersebut tersebut berada di waktu dan tempat yang sama. Hal ini berbeda dengan di luar negeri, dimana tantara dan polisinya memang tidak pernah bertemu.
“Dimana yang berada di jalan dan berbaur dengan masyarakat adalah polisi. Sementara, militer berada di barak. Sehingga, perlu ada pembatasan yang tegas dan jelas bagi prajurit yang keluar dari kesatrian,” ujarnya.
Aturan yang tegas itu adalah agar setiap prajurit yang akan keluar dari barak, jangan disepelekan. Hal itu sekaligus untuk meminimalisir terjadinya gesekan saat berada di ruang publik.
Sebab, gesekan antara prajurit dengan polisi di ruang publik berpotensi menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Dikatakan, yang perlu dipikirkan adalah membatasi agar prajurit dan polisi tidak mudah bentrok.
“Jangan hilangkan kemampuan mereka melakukan kekerasan, tapi membatasi eksesnya. Harus ada upaya untuk meminimalisir agar bentrokan tidak terjadi lagi,” tandasnya.