Presidential Threshold Tak Sesuai Konstitusi
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menegaskan, presidential threshold (PT) yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, tidak sesuai dengan Konstitusi.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menegaskan, presidential threshold (PT) yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, tidak sesuai dengan Konstitusi.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. (Foto: Humas DPD RI)
Wowsiap.com - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menegaskan, presidential threshold (PT) yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, tidak sesuai dengan Konstitusi. Sebab, tidak ada perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden.
“Apakah PT sesuai dengan konstitusi? Jawabnya adalah tidak. Yang ada adalah ambang batas keterpilihan presiden yang bisa kita baca di UUD 1945 hasil amandemen. Dimana dalam Pasal 6A ayat (3) dan (4) disebutkan bahwa ambang batas keterpilihan perlu sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar,” katanya saat membuka Focus Group Discussion bertema Presidential Threshold dan Oligarki Pemecah Bangsa yang digelar di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Selasa (16/11).
Sedangkan ambang batas pencalonan tidak ada sama sekali. Di Pasal 6A Ayat (2) tertulis, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Artinya, kata dia, setiap partai politik peserta pemilu berhak dan dapat mengajukan pasangan capres dan cawapres. “Dan pencalonan itu diajukan sebelum pilpres dilaksanakan,” ujarnya. Yang kemudian membingungkan, lanjutnya, justru lahir UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang merupakan pengganti dari UU Nomor 42 Tahun 2008.
Dalam UU tersebut, di Pasal 222 disebutkan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
“Disinilah semakin ketidakjelasannya. Selain memberi ambang batas yang angkanya entah dari mana dan ditentukan siapa, di pasal tersebut juga terdapat kalimat, pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Akhirnya, komposisi perolehan suara partai secara nasional atau kursi DPR diambil dari komposisi yang lama,” tandasnya.
Pasal itu menurutnya sungguh aneh dan menyalahi konstitusi. Apalagi, menggunakan basis hasil suara yang sudah basi. Karena masih menggunakan basis suara hasil pemilu lima tahun yang lalu.
Sayangnya, ucap LaNyalla, meski jelas pasal dalam UU Pemilu itu tidak derifatif dari Pasal 6A UUD hasil amandemen, tetapi Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pasal tersebut adalah bagian dari Open Legal Policy atau wewenang pembuat Undang-Undang. Sehingga, sampai hari ini, pasal tersebut masih berlaku.
“Oleh karena itulah, kami di DPD RI berpendapat bahwa wacana amandemen konstitusi perubahan kelima yang kini tengah bergulir, harus benar-benar dimanfaatkan untuk mengkoreksi sistem tata negara dan arah perjalanan bangsa,” tegasnya.