Permendikbud Ristek Sesat Akademis

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi, dinilai telah kehilangan orientasi.

Permendikbud Ristek Sesat Akademis

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi, dinilai telah kehilangan orientasi.

Wakil Ketua Bidang Hukum, HAM dan Advokasi DPN Partai Gelombang Rakyat Indonesia Tina Tamher. (Foto: Gelora Media Center)
Wowsiap.com - Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi, dinilai telah kehilangan orientasi nilai budaya ketimuran. Permendikbud Ristek itu juga sesat akademis yang bermartabat dan bermoral sebagai civitas akademika.

"Jauh dari kesan mendidik, sehingga saya berharap Permendikbud Ristek itu di-drop dan dibatalkan. Karena jelas menodai kesucian lembaga perguruan tinggi," kata Wakil Ketua Bidang Hukum, HAM dan Advokasi DPN Partai Gelombang Rakyat Indonesia Tina Tamher, Selasa (16/11).

Menurutnya, aturan tersebut juga mengakomodasi pembiaran praktek perzinaan di kampus. Hal itu lantaran perbuatan asusila yang diatur dalam Permendikbud Ristek, tidak dikategorikan sebagai kekerasan seksual jika suka sama suka atau mendapat persetujuan dari korban.

"Aturan Permendikbud Ristek tersebut sama saja melegalkan perbuatan asusila dan perzinahan. Sungguh disesalkan, regulasi semacam ini ada di Indonesia yang menjunjung tinggi harkat martabat perempuan dan nilai-nilai agama," ujarnya.

Dia juga menilai, proses pembentukan Permendikbud Ristek tersebut tidak memenuhi azas keterbukaan dalam proses pembentukannya. Tidak terpenuhinya azas keterbukaan tersebut terjadi karena pihak-pihak yang terkait dengan materi Permendikbud Ristek, tidak dilibatkan secara luas dan utuh. Selain itu adalah minimnya informasi dalam setiap tahapan pembentukan.

Hal ini bertentangan dengan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dimana UU tersebut menegaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan menteri), harus dilakukan berdasarkan azas keterbukaan.