Program-program Merdeka Belajar dinilai tidak mempunyai dasar hukum. Hal itu karena inkonsistensi perubahan pengaturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Guru Besar Hukum Universitas Katolik Parahyangan Johannes Gunawan.(Dok. FH Unpar)
"Salah satu produk hukum yang bertentangan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) adalah pembentukan Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP)," kata Guru Besar Hukum Universitas Katolik Parahyangan Johannes Gunawan di Jakarta, Senin (21/6).
Pembentukan BSKAP dilakukan berdasar Pasal 233 Permendikbudristek No. 28 Tahun 2021. Adapun BSKAP adalah pengganti Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang dibubarkan oleh Kemdikbudristek.
"Sebagai pengganti BSNP, BSKAP sesuai Penjelasan Pasal 35 UU Sisdiknas seharusnya merupakan badan yang mandiri. Akan tetapi berdasarkan Pasal 34 ayat (2) PP No. 57 Tahun 2021 dan Pasal 233 ayat (1) Permendikbudristek di atas, BSKAP harus bertanggungjawab kepada Mendikbudristek," ujarnya.
Menurutnya, jika badan tersebut berada di bawah dan harus bertanggungjawab kepada Mendikbudristek, maka berarti BSKAP tidak mandiri. Namun ternyata PP No. 57 Tahun 2021 diubah dengan PP No. 4 Tahun 2022.
"Yang mana dalam Pasal I angka 6 menghapus Pasal 34 PP No. 57 Tahun 2021. Kemudian di dalam Pasal I angka 11 menyisipkan Pasal 51A di dalam PP No. 57 Tahun 2021," tandasnya.
Mandiri
Pasal 51A ayat (4) mengatur bahwa badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan (BSKAP) bersifat mandiri dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, lanjutnya, pengaturan Pasal 233 ayat (1) Permendikbudristek No. 28 Tahun 2021 yang mengatur bahwa BSKAP tidak mandiri, menjadi bertentangan.
"Yakni dengan pengaturan dalam Pasal I angka 11 PP No. 4 Tahun 2022. Yang mengatur bahwa BSKAP dalam menjalankan tugasnya harus mandiri," tegasnya.
Alhasil, keberadaan BSKAP yang tidak mandiri, tidak memiliki dasar hukum. Selain itu juga bertentangan dengan UU Sisdiknas.
"Persoalannya saat ini adalah keberadaan BSKAP tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Padahal, produk BSKAP telah menggunakan APBN yang tidak sedikit jumlahnya," ungkap pria yang biasa disapa Jogun itu.
Jika dasar hukum BSKAP tidak jelas, lanjutnya, lalu bagaimana mempertanggungjawabkan berbagai kebijakan yang dibuat. Persoalan itu menjadi centang perenang pengaturan di Kemdikbudristek yang mesti dibenahi.
"Sehingga Kemdikbudristek dapat menerapkan slogan ing ngarso sung tulodo. Semua pemangku kepentingan harus bersama-sama mengawal kebijakan pendidikan nasional," tuturnya.
Terutama pembahasan omnibus law RUU Sisdiknas (perubahan), yang menggabungkan tiga UU. Yaitu UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen dan UU Pendidikan Tinggi.
"Omnibus law RUU Sisdiknas ini sangat terkait dengan berbagai regulasi lain yang setara UU. antara lain seperti UU Pendidikan Kedokteran, UU Keperawatan, UU Pemerintahan Daerah, UU Keinsinyuran, UU Keuangan Negara dan lainnya," tukasnya.