Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini menjadi korban dari permainan politik. Sehingga putusan yang dihasilkan dinilai tidak independen.
Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat Indonesia Fahri Hamzah. (Gelora Media Center)
“Hal ini setidaknya bisa dilihat dari putusan penolakan Hakim Konstitusi terhadap 30 kali gugatan uji materi (judicial review) terkait Undang-undang Pemilu yang diajukan ke MK,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah dalam Gelora Talk bertajuk Menyoal Putusan MK atas UU Pemilu: Pilihan Rakyat Makin Terbatas, Rabu (13/7).
Menurutnya, kamar yudikatif seperti MK, seharusnya independen. Bukan justru terperangkap dalam permainan politik politisi. Saat ini, aktor-aktor politik yang ingin berkuasa terus telah menyandera MK.
“Makanya saya berani mengatakan, MK adalah korban. Karena saya pernah menjadi politisi, tahu betul permainan politik seperti ini,” ujarnya.
Karena itu, publik tidak bisa berharap banyak pada MK untuk memiliki kesadaran internal untuk memperbaiki dirinya. Jadi untuk memperbaiki MK ke depan, perlu elaborasi definisi negarawan agar mereka tidak mudah dipengaruhi politisi.
“MK saat ini mendesak untuk dilakukan reformasi, karena keberadaanya telah melenceng dari tujuan awal pendiriannya, yakni sebagai penjaga konstitusi. Kita ini terlalu romantis, sudah 30 kali ditolak, kalau sudah 30 kali, ya MK sudah disandera terus oleh politisi. Maka politisinya kita tumbangkan,” tandasnya.