Secara representasi, sebenarnya para senator di lembaga DPD RI lebih kuat dibanding anggota DPR RI di parlemen.
Dialog Kebangsaan dengan tema ‘Peran DPD RI dalam Percaturan Pemimpin Bangsa’ di Lobi Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta. (Koordinatoriat Wartawan Parlemen)
“Representasi yang paling kuat itu sebetulnya adalah DPD, bukan DPR. Itu logikanya. Dia mempertanggubngjawabkan pada konstituennya langsung,” kata pengamat politik, Rocky Gerung dalam diskusi Dialog Kebangsaan dengan tema ‘Peran DPD RI dalam Percaturan Pemimpin Bangsa’ di Lobi Gedung DPD RI, Senayan, Jakarta, Kamis (7/7).
Sehingga, tidak perlu didiskusikan ke partai. Jadi kalau ditanya siapa paling representatif membuat Undang-Undang, itu sebenarnya DPD.
“Seorang anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI memiliki keterwakilan besar dalam menampung aspirasi konstituennya di masing-masing daerah pemilihan. Oleh karena itu, tiap anggota DPD RI didorong dapat mengusulkan satu Rancangan Undang-Undang (RUU), yang dapat mengakomodisi persoalan konstituennya,” ujar dia.
Sedangkan Wakil Ketua Kelompok DPD di MPR RI Fahira Idris mengakui, salah satu tujuan demokrasi sebenarnya adalah kesetaraan hak warga negara dalam berpolitik. Dimana hal itu tidak boleh dihalang-halangi oleh peraturan.
“UU Pemilu yang dihasilkan telah menunjukkan bagaimana kuatnya kesenjangan antara pembuat undang-undang dengan kehendak publik. Ada kesenjangannya yang sangat luar biasa antara antara keinginan para pembuat Undang-Undang Pemilu dengan kehendak publik secara luas agar ambang batas ini dihapuskan,” tandasnya.
Kemandirian
Sementara itu, mantan anggota DPD RI Djamal Azis, yang juga pernah duduk sebagai sebagai anggota DPR RI menegaskan, kemandirian anggota DPD dalam menjalankan tugas kedewanannya lebih kuat dibanding anggota DPR.
“DPD ini anggotanya 136 jadi fraksinya 136. Setiap anggota DPD punya otak masing-masing, punya kepentingan untuk daerahnya masing-masing, maka dia selalu hidup dinamis terus,” tegas Djamal yang kini duduk sebagai anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan (KKK) MPR RI.
Praktisi Media, John Andi Oktaveri mengatakan saat ini wilayah publik masih berkutat persoalan mengenai proses demokrasi. Padahal Pemilu 2024 menyisakan waktu 20 bulan lagi.
“Jadi yang ingin saya katakan di wilayah elit sibuk bisik-bisik calon presiden, sementara publik kita yang punya hak pilih selama ini seolah-olah tidak diajak lagi untuk membicarakan calon presiden ini. Kita hanya menghitung kuantitatif 20 persen atau 25 persn suara sah secara nasional,” tuturnya.
Persoalannya, kata dia, nanti adalah tidak adanya korelasi calon pemimpin terpilih nanti dengan idaman atau idola rakyat sebenarnya. “Hampir tidak bisa kita katakan ada, karena kekuatan partai politik kita tersentral di-ketua umum atau yang kita sebut juga dengan oligarki,” imbuhnya.