Pemerintah diminta tidak terkecoh dengan keamanan surplus stok beras. Sebaliknya, pemerintah diharap tetap memperhatikan kebutuhan beras dalam negeri.
Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi. (Dok. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)
“Kondisi ekonomi global yang semakin membaik, diprediksi akan meningkatkan permintaan pada komoditas pangan. Hal itu akan mendorong pada kelangkaan pangan dalam jangka panjang,” kata Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi, Sabtu (2/7).
Menurutnya, dari hasil simulas diketahui pada kuartal ke-3 2023 sudah akan ada gejala kelangkaan. Ekonom dari Universitas Indonesia itu juga menyarankan pemerintah, untuk memperhatikan kondisi global dan tidak hanya melihat stok beras dalam negeri.
“Kemungkinan negara-negara besar di dunia akan memprioritaskan demand domestiknya. Dari sisi komoditas beras, Thailand, Vietnam kemungkinan akan menahan ekspornya dan menguatkan demand dalam negeri,” ujarnya
Selain itu, kerja sama regional juga harus ditingkatkan untuk menjamin keamanan stok komoditas pangan. Untuk menjamin kemanan stok beras dalam negeri, peran Bulog juga ditingkatkan tidak hanya di level nasional, tetapi juga berperan di level regional.
“Dalam hal ini, juga harus menguatkan Bulog. Tidak hanya di level nasional tapi juga di level regional, bisa jadi semacam operator, sehingga stoknya aman,” tandasnya.
Sementara itu, pakar teknologi pangan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahrizal Yusuf Affandi mengungkapkan, ketersediaan pangan dan wacana ekspor beras patutnya dikaji lebih mendalam. Bisa jadi, kebutuhan atau suplai beras nasional itu mencukupi.
“Sehingga kemudian berencana untuk ekspor karena memang ada perubahan pola konsumsi. Konsumen - terutama di perkotaan - sudah semakin meninggalkan beras,” tegasnya.
Turun
Konsumsi beras memang ditargetkan turun. Dari 94 kg per kapita per tahun di 2019 diharapkan turun menjadi 85 kg per kapita per tahun di 2024. Diversifikasi pangan bisa dikatakan berhasil, jika lihat dalam konteks tidak memakan nasi.
“Namun di sisi lain, ternyata masyarakat mengkonsumsi gandum. Dulu kan kita tergantung sama beras, kita ingin punya alternatif terhadap beras tapi malah larinya ke gandum,” tuturnya.
Dikatakan, Indonesia saat ini sudah tergantung pada pangan impor, misalnya gandum yang diimpor dari luar negeri. Hal itu dinilai akan mengancam kedaulatan pangan Indonesia.
“Di sisi lain, pemerintah terlihat belum serius dalam mendukung diversifikasi berbasis pangan lokal. Dukungan untuk sumber karbohidrat berbasis pangan lokal masih kurang. Kita masih bertumpu ke beras dan strategi diversifikasi pangan kita masih berbasis gandum,” ucapnya.