Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dinilai bukan diamandemen, melainkan diganti dengan UU Reformasi 2002.
Guru Besar Filsafat Universitas Gadjah Mada Kaelan dan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattaliti. (Bagian Pemberitaan dan Media DPD RI)
“Terutama menyangkut substansi pasal-pasalnya,” kata Guru Besar Filsafat Universitas Gadjah Mada Kaelan dalam focus group discussion bertema Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Mengembalikan Kedaulatan Rakyat, di Kantor DPD RI Provinsi DIY, kemarin.
Menurutnya, dalam kajian hukum konstitusi dikenal dua prosedur perubahan UUD. Pertama, perubahan yang telah diatur dalam suatu UUD itu sendiri atau yang dikenal dengan istilah verfassung anderung.
“Kedua, perubahan melalui prosedur di luar ketentuan yang sudah diatur dalam UUD tersebut atau yang dikenal dengan istilah verfassung wandelung. Sedangkan dalam hubungan dengan teknik perubahan konstitusi, dikenal dua teknik yang digunakan dalam mengubah konstitusi,” ujarnya.
Yaitu perubahan atau penggantian secara menyeluruh (renew). Serta perubahan dengan melakukan penambahan atau yang dikenal dengan istilah amandemen.
“Amandemen dalam suatu konstitusi, lazimnya dilakukan perubahan atau penambahan satu pasal atau beberapa pasal, kemudian dicantumkan pada UUD asli, kemudian bersama-sama diundangkan. Hal ini diistilahkan dengan sistem adendum,” tandasnya.
Sementara dalam proses amandemen UUD tahun 2002, pasal-pasal yang diubah/diganti hampir 90 persen. Terutama menyangkut substansi pasal-pasalnya.
“Jadi dalam proses penyusunan UUD 2002 itu bukanlah amandemen, melainkan mengganti UUD 1945 dengan UUD Reformasi 2002,” tegasnya. Karena jika dalam proses amandemen UUD 2002 jumlah pasal yang diamandemen mencapai 90 persen lebih, maka dalam sejarah konstitusi dan ketatanegaraan Indonesia, hal itu bukanlah amandemen melainkan suatu penggantian konstitusi (renew).
Adendum
Dalam hukum konstitusi, lannjutnya, pengertian amandemen adalah pengubahan satu pasal atau beberapa pasal konstitusi. Yang kemudian dicantumkan dalam UUD asli (konstitusi asli) dengan sistem adendum.
“Dalam proses amandemen UUD 1945 dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, proses amandemen UUD 1945 perubahan jumlah pasal yang diamandemen hampir mencapai 90 persen. Konsekuensi dari hal itu, UUD 2002 hasil amandemen tidak koheren atau tidak pada dasar filsafat negara Pancasila,” ucapnya.
Hal ini telah dilakukan lewat suatu penelitian hukum normatif pada isi pasal-pasal UUD 2002 hasil amandemen. Dimana tidak konsisten dengan dasar filsafat negara Pancasila.
“Isi pasal-pasal UUD 2002 hasil amandemen justru merupakan derivasi dari sistem liberalism. Hal ini juga dapat dibuktikan pada sejarah proses perumusannya. Memang tatkala UUD 2002 dirumuskan terdapat suatu kesepakatan bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak akan dirubah,” imbuhnha.
Namun berdasarkan hasil analisis hukum, isi pasal-pasal UUD 2002 hasil amandemen tidak konsisten dan tidak koheren dengan Pancasila sebagai dasar filsafat negara.
“Berdasarkan fakta dalam sejarah amandemen UUD 1945, terdapat pengaruh dari asing. Beberapa LSM asing maupun domestik ikut aktif dalam proses amandemen UUD 1945 tersebut,” ungkapnya.
LSM-LSM itu bahkan hadir dalam rapat-rapat PAH I BP MPR, mengikuti setiap materi perubahan yang dibahas. Sehingga dapat mengetahui data atau informasi semacam apa yang dibutuhkan para anggota PAH I.