Kekuatan udara Indonesia dinilai masih belum memadai. Sebab dari capaian, baru separuh capaian atau sekitar 50 persen dari minimum essential force (MEF).
Ketua DPR RI Puan Maharani saat melakukan joy flight dengan jet tempur TNI AU T-50i Golden Eagle, beberapa waktu lalu. (Biro Pemberitaan DPR RI)
“Artinya, masih tertinggal dengan matra lain. Sehingga tentu saja perlu menjadi perhatian supaya peremajaan maupun pengembangan kekuatan ini tetap proporsional dan simultan diantara tiga matra,” kata pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, Sabtu (18/6).
Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani mendukung upaya penguatan armada TNI Angkatan Udara (AU) untuk mengatasi ancaman kedaulatan di sektor udara. Indonesia juga harus mempunyai kekuatan udara yang sebaik-baiknya.
“Jika angkatan perang hendak berdiri setaraf, setinggi, sederajat dengan angkatan perang dunia internasional, maka kita harus mempunyai Angkatan Udara yang sebaik-baiknya,” ujar dia saat bertandang ke Lapangan Udara Iswahjudi, Magetan, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Sejauh ini, untuk memenuhi MEF tahap III periode 2020-2024, TNI AU menargetkan bisa memiliki 344 unit pesawat, 32 unit radar, 72 rudal dan 64 unit penangkis serangan udara. MEF adalah standar kekuatan pokok dan minimum TNI, yang mutlak disiapkan sebagai prasyarat utama.
Hal itu demi terlaksananya efektivitas tugas pokok dan fungsi TNI, dalam menghadapi ancaman aktual. Khairul Fahmi menambahkan, peremajaan maupun pengembangan dari sisi udara mutlak dilakukan untuk menjaga wilayah Indonesia yang luas.
“Tentu saja dibutuhkan alutsista udara yang kuat dan mampu menjaga. Bukan hanya yang sifatnya untuk kepentingan patroli, tetapi pengawasan misalnya radar, itu harus mumpuni,” tandasnya.
Mahal
Dia mengakui, belanja alutsista untuk TNI AU memang terbilang mahal dibandingkan dua matra lain, yaitu TNI AD dan TNI AL. Apalagi, alutsista untuk TNI AU berasal dari impor yang memang mahal dan sulit perawatannya.
“Tantangan lain yang kita hadapi, pengembangan SDM itu juga harus benar benar serius dijalankan. Termasuk juga kemampuan dalam melakukan pemeliharaan dan perawatan alutsista dan pengembangan strategi atau operasi,” tegasnya.
Dia mengatakan, untuk pertahanan Indonesia, banyak alutsista yang berasal dari Rusia, misalnya Pesawat Sukhoi. Sehingga ada ketergantungan untuk pemeliharaan dan perawatannya.
Pada awal tahun ini, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo mengemukakan konsep Plan Bobcat. Yaitu TNI AU berupaya membangun airpower-nya demi menjaga kedaulatan nasional dan meningkatkan peran Indonesia di Asia Tenggara dan kawasan Indo Pasifik.
Ada tiga variabel untuk mendukung pembangunan airpower yang dijabarkan dalam Plan Bobcat. Ketiganya mencakup organisasi, teknologi dan kesiapan operasi. Sementara itu, Kepala Riset Pertahanan dari Semar Sentinel Anastasia mengungkapkan, saat ini Indonesia telah memiliki holding dan program strategis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Industri Pertahanan.
Terdiri dari 5 BUMN yang bergerak dalam bidang alutsista yaitu PT Dirgantara Indonesia, PT PAL, PT Len Industri, PT Pindad dan PT Dahana. Keterlibatan perusahaan plat merah dalam bisnis pertahanan ini akan menggerakkan ekonomi dalam negeri.
“BUMN dinilai bisa dimaksimalkan untuk pengadaan alutsista. Jika dikerjakan dalam negeri, maka perekonomian nasional bisa ikut tergerak dari bisnis pertahanan ini,” tuturnya.
Dasar Hukum
Selain itu, Indonesia punya dasar hukum untuk mendukung dampak sektor pertahanan dalam perekonomian, terkhusus mendorong perekonomian. Dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2012 mengenai Industri Pertahanan, secara lengkap dituliskan, bahwa Industri Pertahanan adalah industri nasional yang terdiri atas badan usaha milik negara dan badan usaha milik swasta.
Baik secara sendiri maupun berkelompok, yang ditetapkan oleh pemerintah untuk sebagian atau seluruhnya menghasilkan alat peralatan pertahanan dan keamanan, jasa pemeliharaan untuk memenuhi kepentingan strategis di bidang pertahanan dan keamanan yang berlokasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Pemerintah perlu memilih semacam supplier yang hanya tidak hanya menjual tetapi juga program offset yang ditawarkan mendukung pemulihan ekonomi di Indonesia. Sehingga, pemerintah tidak hanya membeli alutsista dari luar negeri, namun juga ada transfer teknologi,” imbuhnya.
Yang mana nantinya teknisi dalam negeri bisa belajar dari sana. Selama ini ada macam-macam sumber, namun mereka hanya menjual alutsistanya. “Padahal yang kita butuhkan teknologinya. Selain bisa menyerap dan juga engineer kita bisa belajar dari pembuatan alutsista itu sendiri,” tukasnya.