Pemerintah diminta untuk segera mengevaluasi atau mencabut aturan pelarangan ekspor crude palm oil (CPO).
Wakil Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin. (Bagian Pemberitaan dan Media DPD RI)
“Puluhan kepala desa se-provinsi Bengkulu menyampaikan keluhan dan merasa sangat dirugikan oleh kebijakan tersebut,” kata Wakil Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin, Sabtu (14/5).
Menurutnya, sejak awal pihaknya juga sudah mewanti-wanti. Bahwa kebijakan ekonomi yang tidak dihitung secara matematis ini, akan sangat berdampak langsung pada petani dan daerah penghasil sawit.
“Sekarang dampak buruk kebijakan ini semakin sistemik. Baik pada petani dan kehilangan pasar ekspor, yang kecewa dengan kebijakan pemerintah,” ujarnya.
Dikatakan, kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan harga minyak goreng di pasaran domestik belum kunjung terasa dampaknya secara efektif. Selain itu justru semakin memperumit masalah.
“Harga minyak goreng tak kunjung turun signifikan ke harga semula dan nilai tukar petani sawit juga harus merana. Enough is enough, pemerintah sebaiknya segera mengevaluasi kebijakan ini,” tandasnya.
Mafia
Jika ingin menindak para mafia yang berlindung di balik nama besar korporasi dan birokrasi, lanjutnya, pemerintah hanya harus memperbaiki tata niaga sawit secara sistematis sejak di sisi hulu. Terutama soal dominasi kepemilikan lahan sawit dan mereformasi manajemen lembaga-lembaga terkait dengan sawit.
“Kita tak ingin tiga juta petani mandiri yang mengelola 6,88 juta hektare di daerah-daerah penghasil sawit, kehilangan harapan. Lalu meninggalkan profesinya sebagai petani sawit akibat harga TBS yang masih murah,” tegasnya.
Sementara, di saat yang sama inflasi kebutuhan pokok terus melambung tinggi. Lebih lanjut dia menerangkan bahwa rata-rata produksi sawit milik petani perharinya berkisar 157,3 ribu ton.
“Jika produksi itu dihambat dengan kebijakan yang menyebabkan TBS tidak diserap pabrik, maka petani bisa merugi Rp 550 miliar per hari. Indonesia bahkan kehilangan market share dan penerimaan devisa ekspor dalam jumlah yang tidak sedikit,” ucapnya.
Artinya dalam jangka panjang, kebijakan ini berpotensi menjadi bumerang bagi reputasi Indonesia sebagai negara penguasa pasar CPO dan minyak goreng dunia. Menurut informasi yang diperolehnya, sejumlah pabrik kelapa sawit di Bengkulu mengklaim, sejak sebelum lebaran hingga (10/5) tak kunjung menjual produksi CPO miliknya.
“Alasannya, belum ada permintaan dari pihak pembeli CPO. Sehingga kini stok CPO di tangki timbun pabrik tersebut mencapai 2.223 ton,” tukasnya.