Catatan dan masukan publik tersebut diharapkan bisa membantu pemerintah dalam menentukan figur penjabat. Dengan adanya catatan publik, pemerintah juga bisa memberikan atensi.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Armand Suparman. (Dok. KPPOD)
“Karena partisipasi publik itu akan memperkuat legitimasi penjabat kepala daerah,” kata Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, Rabu (11/5).
Menurutnya, partisipasi publik tidak dimaksudkan sebagai pemilihan oleh publik. Akan tetapi, publik bisa memberikan penilaian dan masukan terkait calon penjabat.
“Partisipasi dalam arti publik memberikan catatan, masukan atas bakal calon atau calon-calon yang disiapkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Yakni untuk posisi penjabat gubernur bupati atau wali kota,” ujarnya.
Catatan dan masukan publik tersebut diharapkan bisa membantu pemerintah dalam menentukan figur penjabat. Dengan adanya catatan publik, pemerintah juga bisa memberikan atensi.
“Sehingga ketika ada catatan terkait dengan legitimasi para penjabat oleh beberapa pihak/pakar, bisa mengisi ruang kosong. Bagaimanapun, partisipasi publik penting dalam pemilihan penjabat kepala daerah,” tandasnya.
Pasalnya, para penjabat itu akan menghadapi beberapa tantangan dalam melaksanakan tugasnya. Mulai dari merespon kebijakan pemerintah pusat dan pemulihan usai pandemi.
“Kemudian yang dibutuhkan adalah penjabat kepala daerah yang kompeten, berkapasitas dan berintegritas,” tegasnya. Seperti diketahui, gelombang pertama penjabat kepala daerah akan mulai bertugas pada pertengahan Mei 2022.
Yakni dengan jumlah 101 untuk memimpin di 5 provinsi, 6 kota, dan 3 kabupaten. Sementara itu pada 2023, ada 171 penjabat kepala daerah yang akan bertugas.
Transparan
Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani meminta pemerintah agar transparan. Khususnya dalam memilih penjabat kepala daerah.
“Saya mendorong proses seleksi melibatkan partisipasi publik. Siapkan sarana yang memadai, apabila masyarakat hendak memberi masukan dan lakukan penyaringan secara terukur dan terbebas dari kepentingan politik,” ucapnya.
Adapun pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia Eko Prasojo mengatakan, pemerintah perlu mengajak anggota dewan untuk memilih calon kepala daerah. Pertimbangan DPRD mengenai profil yang bisa diusulkan, kemudian dilanjutkan kepada Kemendagri.
“Karena nantinya, penjabat akan bekerjasama dengan DPRD. Jika mereka tidak saling kenal, tidak kompak dalam hal penganggaran misalnya, akan terhambat. Takut terjadi blokade politik, jadi anggaran tidak disetujui oleh DPRD,” paparnya.
Dikatakan, transparansi dan partisipasi publik bisa dilakukan jika pemerintah memiliki standar kriteria dan proses yang jelas. Sehingga sebaiknya Kemendagri membuat standar kriteria dan juga proses dalam pengangkatan pejabat kepala daerah.
“Hal itu sebagaimana yang diputuskan Mahkamah Konstitusi, agar Kemendagri membuat petunjuk pelaksanaan secara Teknik. Sebagai contoh, dalam proses seleksi terbuka ada pansel, ada proses asesmen, wawancara, penulisan makalah, track record dan uji publik,” tukasnya.