
Wowsiap.com - November 2013, langit menjadi gelap menyaksikan jatuhnya perusahaan raksasa di bisnis perfilman Blockbuster. Blockbuster dinilai telat menyadari akan bahaya media digital yang terjadi di saat ini.
Dunia industri pertelevisi mulai berubah dalam 10 tahun terakhir dengan cepat. Masyarakat tidak lagi merasa puas dengan tontonan yang diberikan berbagai stasiun televisi tradisional yang ada.
Ketidakpuasan masyarakat akhirnya melahirkan bisnis baru dalam bidang siar, TV digital. Bisnis ini jelas membuat pelaku di industri TV kekurangan pemasukan 'kue' iklan,namun begitu permasalahan ini bisa diatasi para pelaku industri TV.
Pelaku industri TV berhasil mendapatkan uang yang hilang dengan cara meminta pihak TV kabel membayar untuk konten milik mereka yang disiarkan oleh TV kabel.
Di saat yang bersamaan perkembangan teknologi meningkat dengan sangat cepat. Ditandai oleh kualitas pelayanan internet semakin baik. Hal ini menimbulkan kompetitor baru dalam dunia industri pertelevisian. Kompetitor itu bernama video streaming.
Video Streaming yang memanfaatkan teknologi internet juga semakin berkembang dengan lahirnya sebuah platform digital yang menggunakan istilah OTT (Over The Top).
Layanan OTT ini berbasis dengan konten berupa data, informasi atau multimedia yang berjalan melalui jaringan internet. Bisa dikatakan juga layanan OTT adalah “penumpang” karena sifatnya yang beroperasi di atas jaringan internet milik sebuah operator telekomunikasi.
Tahun 2013, Perkembangan teknologi dan kecepatan internet semakin tidak bisa dibendung, perusahaan besar raksasa penyewaan film, BlockBuster akhirnya bangkrut di Bulan November 2013. Tak berdaya melawan perkembangan teknologi dan internet yang semakin berlari kencang pergi meninggalkan pola-pola bisnis yang tradisional.
Reed Hasting pemilik Netflix menyayangkan 'jatuhnya' perusahaan raksasa film seperti Blockbuster. Dalam sebuah wawancara dengan media di New York, Hasting menyebutkan dirinya pernah menawarkan kepada perusahaan raksasa penyewaan film itu untuk bekerja sama dengan memberikan saham sebesar 49 %, sayangnya tawaran itu ditolak mentah-mentah.
"Kami bahkan menawarkan untuk menjual 49 persen saham kami dan mengganti nama kami menjadi Blockbuster.com," kata Hastings kepada Ken Auletta dari New Yorker.
Hasting mengatakan kemungkinan jatuhnya Blokbuster disebabkan telatnya menyadari akan bahaya yang mengancam pola siar tradisional yang dilakukan bisnis baru bernama media digital. Blokbuster sebagai perusahaan raksasas penyewaan film baru menyadari bahaya media digital baru pada tahun 2004.
"Andai saja mereka menyadari bahaya media digital dari 2 tahun sebelumnya, maka bisa dipastikan kami akan kalah," kata Hasting.