Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Aviliani menilai, pemerintah perlu mencermati kondisi inflasi yang terjadi di belahan negara.
Ekonom senior, Aviliani
Menurut dia, harus ada langkah konkret kepada masyarakat agar mereka dapat mempersiapkan diri.
"Kalau inflasi kita kelihatan bagus karena pemerintah mensubsidi BBM coba kalau tidak pasti inflasi akan naik tinggi," tutur Aviliani, Jakarta, dikutip Selasa (12/7/2022).
Aviliani meyakini, subsidi BBM sebesar Rp500 triliun hanya sanggup bertahan hingga akhir tahun ini. Selanjutnya, pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM apabila kondisi ekonomi global belum kunjung membaik.
"Artinya masyarakat harus dibawa memahami kondisi. Amerika inflasinya sudah 8 persen, menjaga awareness ini sangat penting sekali kalau kita memberikan subsidinya ke barang bukan ke orang akan berbahaya dan menimbulkan moral hazard," tuturnya.
Aviliani menuturkan, bagaimanapun Amerika Serikat saat ini masih menjadi katalisator atau sebagai episentrum dunia. Pemerintah Indonesia, lanjutnya, perlu mewaspadai kemungkinan buruk dari tingginya angka inflasi di AS yang dapat mempengaruhi capital outflow.
"Sejauh ini memang masih baik-baik saja cadangan devisa kita karena dibantu ekspor tinggi komoditas batubara dan CPO tetapi ini semua kan ada batas, pada waktunya nanti bisa-bisa akan bermasalah pada APBN kita," tukasnya.
Aviliani menambahkan, saat pandemi mereda, optimisme masyarakat Indonesia cukup tinggi. Survei Bank Indonesia (BI) menyatakan, indeks kepercayaan masyarakat sudah di atas 100 yang menunjukkan sebagian besar penduduk Indonesia yakin perekonomian nasional bisa kembali pulih.
"Jadi persepsi itu sangat bagus, karena persepsi itu yang membuat orang mau belanja dan mau mengeluarkan uangnya. Itu salah satu hal positif yang perlu kita lanjutkan," urainya.
Hal lainnya konsumsi masyarakat juga sudah tercatat meningkat 50 persen secara year-on-year. Namun demikian problemnya ketika konsumsi masyarakat positif tetapi konsumsi pemerintah justru negatif.
"Ini menunjukkan kita masih punya banyak pekerjaan rumah, kalau APBN kita tidak fleksibel," tutur Aviliani.
Menurut dia, penurunan penggunaan APBN akibat perubahan kondisi dari pandemi menjadi pascapandemi. Anggaran yang tadinya digunakan untuk membeli vaksin sehingga butuh waktu untuk mengalokasikan anggaran ke yang lainnya.
"Ini menjadi catatan bagi pemerintah karena masih panjang ketidakpastian kita perlu diskresi untuk memindahkan anggaran sehingga bisa menyesuaikan kebutuhan masyarakat dalam jangka pendek," imbuhnya.
Ketika kondisi tersebut mulai membaik, kata Aviliani, justru dunia dihadapi dengan supply shock di mana antar negara terjadi ubahan saat mendeliver barang ditambah lagi adanya perang Rusia dan Ukraina.
Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia dalam kesempatan yang sama, mengatakan subsidi pemerintah terhadap energi BBM sudah terlampau tinggi.
Dirinya menilai sangat berbahaya apabila nantinya minyak dunia tembus 200 dolar AS per barel.
"Kalau kita tidak segera melepas ini maka akan berbahaya sekali," tegasnya.
Menurutnya, sangat banyak nominal subsidi pemerintah yang dikeluarkan tetapi tidak tepat sasaran. Bahlil menerangkan pendapatan negara tahun lalu tercatat tidak lebih dari Rp2.000 triliun.
Apabila tahun ini belanja APBN mencapai sebesar Rp2.700 sisanya dipakai untuk pembiayaan defisit atau utang. "Jadi sekarang bayangkan dari total APBN kita itu 1/4-nya subsidi, kalau tidak ini berbahaya sekali," terangnya.