KKP Tangkap Dua Kapal Ikan Asing Berbendera Malaysia, Selamatkan Potensi Kerugian Rp19,9 Miliar
Wakil Ketua Badan Pengurus SETARA Institute for Democracy and Peace Bonar Tigor Naipospos. (Foto: SETARA Institute)

Wowsiap.com - Keputusan Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa yang memperbolehkan keturunan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) mengikuti tes penerimaan prajurit TNI tahun 2022, dinilai patut diapresiasi. Apalagi, peristiwa 1965 sudah terjadi lebih dari 50 tahun lalu.

"Adalah tindakan yang irasional dan diluar perikemanusiaan, apabila mereka tetap menanggung dosa turunan dan diperlakukan tidak setara sebagai warga negara," kata Wakil Ketua Badan Pengurus SETARA Institute for Democracy and Peace Bonar Tigor Naipospos dalam keterangan tertulisnya, Kamis (31/3).

Apalagi, kata dia, mereka yang merupakan keturunan PKI dan simpatisannya, saat ini merupakan generasi ketiga (cucu) dan keempat (cicit). Sehingga sudah saatnya bangsa ini berdamai dengan sejarah masa lalu.

"Setiap warga negara - apapun latar belakang sosialnya - sepanjang tidak terlibat perbuatan melanggar hukum, berhak untuk menyumbangkan tenaganya menjadi bagian pertahanan Indonesia," ujarnya.

Dikatakan, SETARA Institute berharap keputusan Panglima TNI menjadi terobosan baru bagi bangsa ini. Khususnya dalam melakukan refleksi dan rekonsiliasi terhadap peristiwa 1965.

"Sudah saatnya mata rantai stigma dan banalitas diakhiri. Termasuk juga upaya untuk menjadikan peristiwa 1965 sebagai komoditi kelompok tertentu, untuk menyudutkan kompetitor politiknya," tandas dia.

Penghayat Kepercayaan
Selain itu, SETARA Institute juga meminta perhatian dari Panglima TNI terhadap keluhan dari kelompok penghayat, yang ingin menyumbangkan tenaganya untuk menjadi prajurit TNI. Dalam catatan SETARA Institute, mereka yang merupakan keturunan kelompok penghayat mengalami hambatan dan diskriminasi.

"Khususnya ketika hendak melakukan pendaftaran melalui formulir online. Dikarenakan di formulir tersebut tidak ada kolom agama dan keyakinan untuk penghayat. Sehingga kalaupun mereka bersikeras ingin menjadi prajurit TNI, mereka harus memilih agama dan keyakinan lain," tegasnya.

Padahal di institusi pemerintah lain dan dan juga kepolisian, hambatan semacam itu tidak ditemukan. Ketiadaan kolom untuk kelompok penghayat dalam formulir online untuk menjadi prajurit TNI, jelas bertentangan dengan UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

"Selain itu juga bertentangan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi pada November 2017. Yang menyatakan warga negara berhak untuk mengisi kolom agama dan KTP sesuai dengan kepercayaan masing-masing," ucapnya.

Karena itu, dia berharap Panglima TNI mengambil langkah perbaikan. Hal itu agar kelompok penghayat memiliki peluang dan kesempatan yang sama sebagai warga negara, untuk menjadi prajurit TNI.