KKP Tangkap Dua Kapal Ikan Asing Berbendera Malaysia, Selamatkan Potensi Kerugian Rp19,9 Miliar
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto. (Foto: Biro Protokol dan Humas DPR RI)

Wowsiap.com - Pemerintah diminta untuk membentuk badan pengelola khusus batu bara. Hal itu dimaksudkan untuk menegakkan kebijakan DMO dan meningkatkan penerimaan negara dari komoditas batu bara.

“Nantinya, lembaga ini bertugas mengelola batu bara DMO. Yakni dengan fungsi menerima seluruh jenis batu bara DMO dari seluruh perusahaan tambang; menyalurkan batu bara sesuai jenis dan kalori yang dibutuhkan PLN dan mengelola kelebihan sisa batu bara DMO yang tidak dibutuhkan PLN,” kata anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto, Selasa (25/1).

Dengan kehadiran lembaga baru tersebut. Lanjutnya, diharapkan batu bara untuk keperluan PLN terpenuhi dengan harga yang stabil terjangkau. Sedangkan kelebihan batu bara DMO dapat dikelola untuk meningkatkan penerimaan negara. 

“Namun sekarang pemerintah terkesan plin-plan dalam menegakkan kebijakan pelarangan ekspor batu bara. Terbukti beberapa waktu lalu dibuat aturan pelarangan ekspor. Akan tetapi baru berjalan tiga hari, aturan tersebut sudah dicabut lagi,” ujarnya.

Termasuk juga terhadap batu bara di luar spesifikasi kalori PLN, bebas diekspor.  Hal itu tentunya menimbulkan ketidakadilan. Padahal, pemerintah harusnya bersikap tegas, adil dan konsisten dalam mengimplementasikan kebijakan DMO berdasarkan UU Nomor 3/2020 tentang Mineral dan Batu Bara. 

“Karena itu, perlu dibentuk lembaga pengelola batu bara DMO agar optimal. Terkait batu bara dengan spesifikasi kalori lebih rendah atau lebih tinggi diluar dari kebutuhan PLN, tetap dikenakan kewajiban DMO secara konsisten dan jangan dibiarkan,” tandasnya.
 
Karenanya, dia menganggap lebih bagus kalau pemerintah membentuk badan khusus yang mengelola batu bara DMO yang tidak diserap PLN. Baik karena kelebihan demand (over demand), atau karena di luar spesifikasi teknis kebutuhan PLN.

“Hal tersebut dapat meningkatkan penerimaan negara dari komoditas batu bara. Konsep ini lebih adil bagi seluruh pengusaha batu bara. Sementara, kewajiban DMO - baik dari segi kuota (25 persen produksi) maupun harga (USD $ 70 /ton) - tetap berlaku,” tegasnya.

Kurang Tegas
Hal ini tidak seperti usulan tentang BLU, yang menghapus kewajiban kuota DMO dan menerapkan harga pasar. Selain itu, sanksi bagi pelanggar ekspor batu bara ini kurang tegas juga pembayaran fee kompensasi bagi pelanggar DMO terlalu ringan. 

“Bagi pengusaha nakal, logikanya, mendingan membayar kompensasi yang tidak seberapa dan memaksimalkan keuntungan melalui ekspor saat harga tinggi. Jadi, persoalannya di besaran dana kompensasi yang mengakibatkan kebijakan DMO tidak efektif,” ucapnya.

Sehingga masih cenderung dilanggar oleh pengusaha nakal.  Harusnya, kata dia, besaran kompensasi tersebut proporsional dengan harga batu bara internasional. Sehingga tidak ada merit bagi pengusaha nakal untuk tetap membandel mengekspor kuota DMO-nya.
 
“Trik lain pengusaha nakal untuk memaksimalkan profit namun menyebabkan kelangkaan batu bara PLN adalah dengan memenuhi kuota DMO sekaligus, saat harga batu bara murah. Lalu memaksimalkan ekspor pada saat harga batu bara tinggi,” ungkapnya.

Hal itu menurutnya perlu diantisipasi.  Karenanya, penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi pelaksanaan DMO secara bulanan dan bukan tahunan.