KKP Tangkap Dua Kapal Ikan Asing Berbendera Malaysia, Selamatkan Potensi Kerugian Rp19,9 Miliar
Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti. (Foto: Istimewa)

Wowsiap.com - Kepolisian semestinya turut berkontribusi dalam menjamin terbukanya ruang-ruang demokrasi. Yakni melalui jaminan atas kebebasan berpendapat dan berekspresi setiap warga negara.

“Dengan demikian, seharusnya pihak Kepolisian menghentikan upaya kriminalisasi yang mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara. Atau, tidak menindaklanjuti laporan-laporan yang mencerminkan hal demikian,” kata Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie, Selasa (18/1).

Hal itu terkait upaya jemput paksa Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dan Direktur Lokataru Haris Azhar oleh pihak Kepolisian di kediaman masing-masing, untuk dilakukan pemeriksaan oleh Polda Metro Jaya. Pemeriksaan itu berkaitan dengan laporan yang dilayangkan Menko Maritim dan Investasi Luhut B. Panjaitan terhadap keduanya.

Yakni atas diskusi hasil riset dalam konten Youtube, yang mengungkapkan dugaan keterlibatan Luhut di balik relasi ekonomi-Ops Militer Intan Jaya. Atas kedatangan pihak kepolisian tersebut, Fatia dan Haris menolak untuk dibawa tanpa didampingi oleh pihak kuasa hukum. Mereka memilih untuk datang sendiri ke Polda Metro Jaya di siang harinya. 
.
“SETARA Institute berulangkali telah menyampaikan bahwa sekalipun langkah hukum adalah hak warga negara, namun SETARA menyayangkan jalan dan cara pintas para pejabat negara dalam merespons kritik. Seharusnya, kritik dijawab dengan kritik bantahan,” ujarnya.

Dimana riset juga dibalas dengan produk riset dan seterusnya. Hal itulah yang menyehatkan demokrasi. Terlebih, kata dia, kritik yang disampaikan bukanlah tuduhan tak berdasar.

“Melainkan beranjak pada hasil penelitian yang tentunya telah dilakukan secara obyektif, rasional dan independen melalui berbagai metode ilmiah yang telah divalidasi. Sikap pejabat publik yang membalas kritikan dengan ancaman pidana, hanya memperlihatkan arogansi dan sikap antikritik mereka,” ujarnya.

Arogan
Padahal, lanjutnya, sebagai pejabat publik tentu mereka memang harus siap untuk dikritik dan membalas kritik tersebut dengan argumentasi. Sikap arogansi dan antikritik tersebut justru menggambarkan penyempitan ruang publik (decreasing civic space) dan pengkerdilan ruang publik (shrinking civic space), yang sedang menggerogoti ruang demokrasi.

Sedangkan Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani mengatakan, pihaknya kembali mengingatkan Kapolri untuk menepati janjinya dalam mengimplementasikan UU ITE secara selektif. Yakni dengan mengedepankan sifat persuasif.

“Pasal penghinaan dan pencemaran nama baik yang didalilkan, seharusnya tidak dapat menjadi dasar yang kuat untuk menjerat para pembela HAM. Hal itu mengingat yang mereka lakukan adalah murni didasarkan pada hasil penelitian yang obyektif, independen dan ilmiah,” tandasnya.

Sehingga, janji Polri Presisi dan pengarusutamaan restorative justice, akan diuji dalam penanganan pelaporan atas sejumlah aktivis. “Perlu juga digarisbawahi bahwa pembatasan kebebasan berpendapat, akan mematikan nalar kritis warga, yang justru dibutuhkan untuk memperkuat dan mendewasakan dalam berdemokrasi,” tandasnya.