
Wowsiap.com - Pemerintah seharusnya tidak perlu ragu dalam mengambil keputusan terhadap pilihan-pilihan yang telah diambil dengan membuat prioritas. Sehingga, tidak perlu dipertentangkan antara kepentingan domestik dengan luar negeri.
“Yakni kepentingan menentramkan masyarakat, dengan kepentingan mendapatkan keuntungan secara ekonomis,” kata Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta dalam diskusi Gelora Talks bertajuk ‘Setelah Pemerintah Melarang Ekspor Sawit dan Minyak Goreng, Apa Selanjutnya?’, Rabu (27/4).
Menurutnya, Presiden Joko Widodo perlu mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah dan negara terkait kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah crude palm oil (CPO) dan minyak goreng. Sebab Jokowi masih memiliki keraguan dalam kebijakan tersebut.
“Dalam situasi sekarang, seharusnya kita mendapatkan keutungan besar. Tapi kenapa itu jadi masalah? Kita juga tidak pernah bayangkan, bahwa akan ada kelangkaan BBM di Arab Saudi,” ujarnya.
Dia menambahkan, meski ekspor CPO memiliki keuntungan besar, tetapi kepercayaan rakyat kepada negara lebih utama untuk dikembalikan. Karenanya, dia ingin memberi pesan kepada pemerintah - khususnya kepada presiden – agar mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada negara.
“Apalagi, psikologi masyarakat saat ini telah rusak akibat isu minyak goreng. Permasalahannya sangat kompleks, sehingga memicu kenaikan harga komoditas lainnya,” tandas dia.
Inflasi
Dikatakan, di tengah situasi krisis ini, tantangan terbesar pemerintahan secara makro adalah inflasi. Semua negara mengalami inflasi dan krisis sosial secara global.
“Apalagi, krisis sosial ini akan memicu revolusi sosial di semua negara, tak terkecuali Indonesia. Rakyat tentunya akan merespon sejauh mana kebijakan yang telah dilakukan pemerintahnya, dalam menghadapi krisis ekonomi sekarang,” tegasnya.
Dia menilai, keputusan politik yang diambil tidak perlu dipertentangkan lagi dengan pertimbangan non politik. Karena akan mengurangi kapasitas pemimpinnya.
“Meski keputusan pemerintah ini, relatif membingungkan, tapi saya memberikan dukungan penuh keputusan Presiden melarang ekspor CPO dan minyak goreng. Pemerintah perlu konsisten, karena kapasitas pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini dipertanyakan akibat berbagai perubahan kebijakan,” imbuhnya.
Namun, ekonom senior Dradjad Hari Wibowo yang juga hadir dalam diskusi ini memiliki pandangan berbeda. Dradjad menilai pelarangan ekspor CPO justru merugikan pemerintah, karena porsi penghasilan sawit Indonesia jumlahnya sangat besar.
“Saya beri contoh tahun 2020 untuk bea keluar (BK) dan pungutan ekspor (PE), jadi ada dua yang dipungut pemerintah. Jatuhnya hampir 25 persen dari seluruh CPO milik RI,” tuturnya.
Apalagi ditambah pengenaan tarif pajak maka penghasilan pemerintah dari sawit di atas 40 persen. Pungutan pajak ini karena perusahaan-perusahaan CPO memiliki kewajiban membayar pajak.
“Bahkan di 2021 dan 2022 kemungkinan dengan harga CPO sekitar Rp 1.400 sampai Rp 1.500 per kilogram, pemerintah menarik penghasilan 33 persen lebih dari BK dan PE,” jelasnya.
Angka Riil
Dradjad menuturkan, angka riil yang dilaporkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) per Desember 2021 sudah mencapai Rp 70 triliun melalui PE. Sementara total pajak yang dikumpulkan dari perusahaan CPO sekitar Rp 20 triliun per bulan.
“Kalau pertahunnya mungkin Rp 240 triliun. Tapi saya tidak tahu pasti, karena data ini tidak pernah diungkap ke publik,” ucapnya. Hasil estimasinya, pemerintah kemungkinan memperoleh Rp 250 triliun sampai Rp 300 triliun per tahun (dengan asumsi harga CPO sekarang sebesar 6.000 RM).
“Ini hanya dugaan kasar saya. Tapi dengan asumsi harga CPO saat ini, rasanya agak sulit membayangkan pemerintah melarang ekspor. Sebab menembak kita sendiri,” tukasnya.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menambahkan, kebijakan pelarangan ekspor CPO dan minyak goreng ini secara mikro memberikan perlindungan kepada konsumen. Namun, turunan dari kebijakan ini masih dinilai tidak efektif dalam menyelesaikan permasalahan isu minyak goreng.
“Kita mengapresiasi dalam konteks perlindungan konsumen, apa yang diambil Presiden Jokowi. Tetapi itu, hanya terapi kejut saja, efek ekornya masih panjang,” kritiknya.
Kebijakan itu akan efektif atau tidak efektif itu, tergantung apa yang dikunci di minyak goreng. Apalgi, karena kebijakannya masih berubah-ubah.