KKP Tangkap Dua Kapal Ikan Asing Berbendera Malaysia, Selamatkan Potensi Kerugian Rp19,9 Miliar
Suasana Haltim dok, jatam

JAKARTA - Di balik deretan tambang dan perseteruan perebutan konsesi di Halmahera Timur, laporan Jatam mengungkap struktur jaringan bisnis yang memegang kendali operasional dan arah kebijakan.

PT Position yang berada di bawah kontrol PT Tanito Harum Nickel (THN), anak usaha Harum Energy Tbk, mendapatkan izin operasi produksi pada 2017 dengan konsesi 4.017 hektar dan berlaku hingga 2037. PT Tanito Harum Nikel (THN) termasuk dalam salah satu konglomerasi tambang terbesar di Indonesia.

Saham perusahaan tambang nikel ini dikuasai THN 51% dan Nickel International Capital Pte. Ltd 49%. Jaringan THN tidak hanya Position, juga mencakup beberapa perusahaan lain, seperti PT Infei Metal Industry, PT Westrong Metal Industry, PT Blue Sparking Energy, dan PT Harum Nickel Perkasa.

Sebagian besar operasi terkonsentrasi di kawasan industri Weda Bay, Halmahera Tengah. Harum Energy sebagai induk grub, juga mengelola tambang batubara utama di Kalimantan Timur dan Tengah lewat PT Mahakam Sumber Jaya, PT Santan Batubara, PT Bumi Karunia Pertiwi, PT Karya Usaha Pertiwi. Juga perusahaan logistik serta pelayaran seperti PT Layar Lintas Jaya dan PT Lotus Coalindo.

Jatam memetakan, di jajaran pengurus dan pengambil keputusan, jejak figur-figur kunci sangat kompak, Lawrence Barki yang menjabat sebagai Komisaris di Position, merupakan generasi penerus keluarga Barki.

Dia juga menjadi Presiden Komisaris Harum Energy dan memegang banyak jabatan strategis di hampir seluruh anak perusahaan batubara maupun nikel—mulai dari Karunia Bara Perkasa, Tanito Harum Nickel, Santan Batubara, Lotus Coalindo Marine, sampai entitas logistik internasional.

Ada nama Stephanus Eka Dasawarsa Sutantio sebagai Direktur Utama Position. Stephanus juga pernah menjabat sebagai direktur di perusahaan offshore IMC Plantations Holdings LTD. Ia terdaftar di Bermuda dan masuk dalam bocoran Paradise Papers, sebuah dokumen internasional yang mengungkap jejaring perusahaan offshore di berbagai negara. Stephanus juga pernah diperiksa KPK dalam kasus mega korupsi BLBI.

“Nama lain yang menonjol adalah Cao Zhiqiang yang memegang posisi sebagai direktur di Position. Ia berasal dari jaringan investasi Tiongkok dan merupakan representasi pengaruh asing di dalam struktur perusahaan nikel grup Harum,” ujar Melky.

Cao Zhiqiang dikenal aktif dalam kerja sama pengembangan smelter serta strategi investasi di kawasan industri Weda Bay, Maluku Utara. Termasuk He Xiaozhen yang berposisi sebagai Komisaris Position yang juga mewakili kepentingan jaringan modal dan ekspansi korporasi Tiongkok di Indonesia.

Sementara WKM juga memperlihatkan simbiosis modal, militer dan politik. WKM yang memiliki konsesi nikel 24.700 hektar di Halmahera Timur dan melibatkan kombinasi kepemilikan domestik dan asing seperti PT Baja Selatan Lintas Nusantara (40%), PT Sejahtera Jaya Prima (25%), dan Huacai (Hongkong) Limited (35%).

Struktur kekuasaan dalam WKM juga memperlihatkan keterlibatan aktor kuat yang mengindikasikan afiliasi jaringan modal nasional-internasional termasuk dari kalangan militer seperti Jenderal (Purn) TNI dan mantan menteri Agum Gumelar yang menjabat sebagai komisaris utama.

Kemudian,  terdapat nama Letjen (Purn) Eko Wiratmoko, eks Kopassus dan pernah menjadi Koordinator Bidang Polhukam DPP Golkar, menjadi direktur utama.

Chen Yibo dan Du Shangmeng adalah eksekutif yang berperan membawa modal investasi Tiongkok ke tubuh WKM, didukung oleh kehadiran Huacai (Hongkong Limited) sebagai pemegang saham signifikan. Ini mempertegas keterlibatan jaringan modal asing dalam bisnis pertambangan nikel nasional.

WKS memegang izin pengelolaan hutan produksi 93.235 hektar di Halmahera Timur. Di lapangan, operasi WKS menimbulkan konflik dengan komunitas O’Hongana Manyawa (Tobelo Dalam) yang menolak pencaplokan wilayah adat mereka.

Perusahaan ini dikendalikan keluarga Lohisto, dengan Rusli Lohisto (70%) dan Ade Wirawan Lohisto alias Acong (30%) sebagai pemegang saham utama. Jaringan keluarga Lohisto juga menguasai perusahaan tambang lain seperti PT Mega Haltim Mineral dan PT Halmahera Sukses Mineral (HSM), turut melibatkan investor asing asal Singapura.

“Perseteruan ini, bukan sekadar sengketa bisnis. Melainkan benturan poros kekuatan besar, mulai dari korporasi nasional-global di bawah jaringan Harum Energy dan Tsingshan Group,” kata Melky.