
Wowsiap.com - Sikap Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan Partai Gelombang Rakyat Indonesia terkait aturan keserentakan pemilihan umum, disayangkan. Pasal yang digugat tersebut ada dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Padahal, legal standing dan dasar pengajuannya diterima. Akan tetapi Majelis Hakim menolak melanjutkan sidang dan berhenti pada pemeriksaan permohonan saja,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah di Jakarta, Senin (11/7).
Menurutnya, kesimpulan yang dihasilkan MK bersifat premature. Hal itu karena para ahli dan saksi yang diajukan Partai Gelora belum pernah diperiksa.
“Apabila ahli dan saksi diperiksa, saya yakin pendirian MK mengenai isu pokok dengan frasa serentak sehingga norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017, akan bergeser secara fundamental. Hal itu terkait alasan hukumnya,” ujar dia.
Dikatakan, MK diyakini akan menggeser pendiriannya untuk mempertahankan norma haruslah tetap dinyatakan konstitusional, menjadi tidak konstitusional. Atau inkonstitusional seperti pandangan Partai Gelora.
“Itulah yang kami sayangkan setelah dua aspek ini dipertimbangkan oleh Majelis Hakim MK, yaitu aspek legal standing dan dasar pengajuan diterima. Justru majelis hakim menolak untuk meneruskan sidang dan hanya berhenti pada pemeriksaan dokumen permohonan,” tandasnya.
Ruang Debat
Dia berharap, jika suatu saat nanti Gelora kembali mengajukan permohonan serupa, majelis hakim dapat membuka ruang debat di persidangan. Hal itu untuk mengetahui lebih dalam duduk perkara permohonan gugatan.
“Karena sekali lagi, legal standing Partai Gelora diterima, alasan permohonan dianggap baru dan belum pernah dipakai, artinya diterima, tapi sidang tidak diteruskan karena para hakim MK anggap belum perlu berubah sikap. Maka, bagaimana membuktikan kalau saksi belum diperiksa,” tegasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta mengatakan, pihaknya tengah mempelajari kemungkinan untuk segera mengajukan kembali gugatan pemisahan pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) ke MK dalam waktu dekat. “Kami sedang mempelajari kemungkinan mengajukan gugatan kembali,” ucapnya.
Dikatakan, gugatan Partai Gelora juga bisa menjadi alternatif atas gugatan presidential threshold 0 persen, yang kerap ditolak MK karena lantaran tidak memiliki legal standing dan lain-lain. “Pada prinsipnya, Partai Gelora ingin memastikan presiden yang dicalonkan berdasarkan pada suara rakyat yang mewakili pikiran dan perasaan hari ini, bukan yang kedaluwarsa,” imbuhnya.
Partai Gelora juga bertujuan memberi peluang bagi lahirnya pemimpin baru di tengah krisis berlarut saat ini. “Ini sangat merugikan kami sebagai partai politik dan rakyat sebagai pemilik suara. Penolakan MK atas gugatan tersebut prematur dan membingungkan,” tukasnya.
Seperti diketahui, MK menolak permohonan judicial review nomor perkara 35/PUU-XX/2022, yang diajukan Partai Gelora yang diwakili oleh Muhammad Anis Matta, Mahfuz Sidik. “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” bunyi amar putusan yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman, Kamis (7/7) lalu.
Tidak Beralasan
Dalam putusannya, MK menolak gugatan Partai Gelora yang menguji Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 Ayat (1) UU Pemilu. MK menilai permohonan tersebut tidak beralasan menurut hukum.
Adapun Pasal 167 Ayat (3) UU Pemilu berbunyi, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional. Sedangkan Pasal 347 Ayat 1 UU Pemilu menyatakan, pemungutan suara Pemilu diselenggarakan secara serentak.
Menurut MK, Partai Gelora mempersoalkan frasa serentak dan memohon waktu penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak dilaksanakan pada hari yang sama tetapi pada tahun yang sama.
Namun, MK berpandangan, permohonan itu sama saja mengembalikan model penyelenggaraan Pemilu 2004, 2009, dan 2014 yang telah tegas dinilai dan dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah.
“Oleh karena itu, belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk menggeser pendiriannya terhadap isu pokok yang berkaitan dengan frasa 'serentak', sehingga norma Pasal 167 Ayat (3) dan Pasal 347 Ayat (1) UU 7/2017 haruslah tetap dinyatakan konstitusional,” tulis putusan tersebut.